Pernahkah kamu kesal dengan cuaca ekstrem yang kerap terjadi akhir-akhir ini? Hujan datang dengan lebat saat musim kemarau, bahkan menyebabkan banjir di beberapa daerah. Sebaliknya, sudah siap jaket, jas hujan, plus payung, ternyata cuaca panas menyengat. Cuaca tak tentu yang sebentar panas, sebentar hujan, bikin kita kerap saltum alias salah kostum.
Saltum bukan satu-satunya masalah akibat cuaca yang berubah-ubah. Masalah yang lebih besar sudah terjadi. Cuaca yang tidak menentu membuat beberapa produk pertanian gagal panen. #Eatizen pasti pernah mengalami harga cabai yang melonjak drastis, membuat ibu-ibu menjerit. Hal tersebut terjadi karena gagal panen di beberapa daerah penghasil cabai akibat perubahan cuaca.
Cuaca yang berubah-ubah juga memengaruhi kesehatan manusia. Bukan hanya batuk dan pilek, bahkan penyakit lain banyak bermunculan. Tahukah kamu, bahwa semua itu bisa jadi karena ekosistem hutan yang rusak akibat ulah manusia itu sendiri, atau disebut deforestasi hutan.
Deforestasi Hutan
Hutan yang mungkin jaraknya beribu kilometer dari tempat kamu tinggal ternyata bisa sangat memengaruhi kehidupan kamu. Ya, dampak deforestasi hutan itu nyata, #Eatizen. Beberapa pasti sudah kamu rasakan, seperti polusi air, pemanasan global, berkurangnya bahan pangan, terganggunya ekonomi, dan banyak lagi.
Untuk itulah Eathink Movement menyelenggarakan FoodCircle pada 1 Juli 2022. FoodCircle adalah diskusi yang dilaksanakan oleh panelis dari latar belakang yang berbeda-beda. Hanya 18 orang yang diundang pada diskusi yang berlangsung online tersebut.
Pada FoodCircle tersebut dibahas mengenai dampak dari kebakaran hutan yang sering terjadi di Indonesia. Ada empat panelis ahli dan berpengalaman dalam soal deforestasi yang hadir, yaitu Dedy Sukmara yang merupakan Direktur Informasi dan Data dari Organisasi Auriga Nusantara, Djaka Riksanto yang merupakan Senior manager Technical Indonesia dari Organisasi Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). Ada pula Sonya Dyah Kusumadewi, Research Officer dari CIFOR-ICRAF, dan Prof. Herry Purnomo, MS, profesor dan Guru Besar Kebijakan Kehutanan Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB.
Pada diskusi yang dipandu oleh April Sirait dari EcoNusa tersebut terkuak bahwa deforestasi atau kehilangan area hutan di Indonesia cukup besar, yaitu hampir 10 juta hektare selama 20 tahun. “Deforestasi saat ini cenderung ke arah Indonesia bagian Timur,” ujar Dedy.
Dari 10 juta hektare tersebut industri sawit adalah yang paling dominan dalam menyebabkan terjadinya deforestasi. “Dari 9,9 juta hektare deforestasi, sawit itu lebih dari 3 jutanya, atau 3,1 juta hektare itu oleh sawit. Tapi sawit bukan satu-satunya. Ada infrastruktur, pertambangan, pertanian, dan lain-lain yang menyebabkan deforestasi,” imbuh Dedy. Oleh karena itu perlu adanya sistem pengelolaan sawit yang berkelanjutan.
Konsumen Berperan Penting
Terkait dengan lingkungan dan sustainability sawit, Sonya mengungkapkan sangat pentingnya peran konsumen. “Peranan konsumen terpenting untuk sustainability atau berkelanjutan, karena sawit adalah market driven community, jadi tergantung demand dari komoditas, ujar Sonya.
Masyarakat harus memiliki kesadaran untuk hanya mengonsumsi produk-produk yang berasal dari sumber-sumber yang memiliki rasa tanggung jawab terhadap lingkungan dan keberlanjutan. “Bahkan ada satu penelitian yang menunjukkan bahwa apa yang kita makan di piring kita mempengaruhi kondisi hutan yang mungkin berada puluhan ribu kilometer jauhnya, di luar tempat tinggal kita,” tegas Sonya.
Sayangnya kesadaran masyarakat akan sistem berkelanjutan sawit dan produk lain masih memprihatinkan. “Demand masyarakat terhadap sustainability masih rendah. Saat beli minyak goreng, kita nggak pernah nanya apakah minyak gorengnya bersertifikat RSPO (berkelanjutan-red) atau tidak,” sesal Prof. Herry.
Itulah pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh semua stakeholder. Karena deforestasi hutan adalah tanggung jawab semua pihak, mulai dari pelaku industri, pemerintah, dan masyarakat.